Breaking News

https://youtu.be/baf3VlHdXto?si=XGJvc-8JiC3mj-OS

KASUS PALOP0 TAK BOLEH DITUTUP DAMAI — NEGARA WAJIB HADIR


Palopo, Senin 22 Desember 2025
Kasus dugaan pemaksaan aborsi terhadap seorang perempuan berusia 19 tahun di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dinilai bukan sekadar persoalan moral atau konflik pribadi, melainkan indikasi tindak pidana serius dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Upaya “damai” dalam perkara ini justru memunculkan dugaan pembiaran kejahatan terhadap nyawa dan tubuh perempuan.

Keluarga korban menegaskan bahwa perkara ini tidak sah diselesaikan melalui pencabutan laporan, sebab aborsi bukan delik aduan, terlebih jika dilakukan secara paksa dan mengakibatkan kematian janin yang diketahui sempat hidup selama dua hari. Fakta ini memperkuat dugaan kejahatan terhadap nyawa, sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU Kesehatan.

Ayah korban, Jusman (40), mengungkapkan bahwa upaya pelaporan ulang ke Polres Palopo pada 7 November 2025 ditolak dengan alasan perkara telah dicabut dan berdamai. Penolakan tersebut memicu pertanyaan serius: apakah aparat telah keliru memahami hukum, atau justru mengabaikan kewajiban penegakan pidana?

“Ini bukan urusan damai. Ini soal nyawa dan masa depan anak kami. Negara seharusnya melindungi korban, bukan menghentikan proses,” tegas Jusman.

Keluarga juga mengungkap dugaan pemaksaan konsumsi obat penggugur kandungan, yang dilakukan dalam relasi tidak setara, diiringi janji palsu tanggung jawab dari terduga pelaku berinisial Andika alias Hanum. Hingga kini, terduga pelaku disebut lepas dari tanggung jawab hukum maupun moral.

Tante korban, Dg. S, menyebut upaya damai dalam kasus ini sebagai tamparan terhadap nurani dan hukum.

“Kalau aborsi bisa didamaikan, lalu di mana perlindungan negara terhadap perempuan dan anak?” katanya.

Secara hukum, dugaan pemaksaan aborsi berpotensi melanggar Pasal 346–349 KUHP, serta ketentuan dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dengan tegas melarang aborsi kecuali dalam kondisi tertentu yang sangat ketat. Jika dilakukan dengan paksaan, tipu daya, atau tekanan, maka unsur pidana semakin kuat.

Kasat Reskrim Polres Palopo, IPTU Syahrir, SH., MH., menyatakan perkara masih dalam tahap penyelidikan. Namun, keluarga korban dan pendamping hukum menilai pernyataan tersebut belum menjamin adanya keberpihakan pada korban, mengingat laporan sempat ditolak di tingkat piket.

Dengan pendampingan LSM ASPIRASI dan LBH NVNJ (No Viral No Justice) DPW Luwu Raya Palopo, keluarga korban kini menempuh jalur eskalasi nasional. Laporan akan disampaikan ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, Propam Mabes Polri, Kompolnas, Kapolri, hingga Presiden Republik Indonesia.

Sekretaris Umum LBH NVNJ, Nurul Mutmainnah, SH, menegaskan bahwa perkara ini bukan hanya soal keadilan individu, tetapi uji komitmen negara terhadap HAM.

“Jika kasus aborsi paksa bisa dihentikan dengan damai, maka negara sedang gagal melindungi perempuan. Ini preseden berbahaya,” tegasnya.

Kasus Palopo kini menjadi alarm nasional. Publik menuntut kejelasan:
Apakah hukum akan ditegakkan atas nama kemanusiaan, atau justru tunduk pada kompromi yang mengorbankan nyawa dan hak perempuan?



© Copyright 2022 - GARDA BHAYANGKARA